Puasa (2018)
Melihat tanggal di kalender handphone, saya tersadar. 2 pekan sudah kita berpisah dengan bulan penuh berkah, Ramadhan. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Berasa baru kemarin saya merasakan euphorianya, tiba tiba sudah berlalu saja bulan suci itu.
Tentu masih teringat jelas dibenak kita (khususnya saya), tentang suasana Ramadhan yang bak suasana surga. Kala pagi harinya, terdengar dari balik jendela rumah, obrolan hangat keluarga muslim yang tengah menyantap hidangan sahur bersama. Saat Shubuhnya ramai tak seperti biasa. Masjid masjid kampung maupun perkotaan tak hanya dipenuhi oleh para orang tua namun juga anak muda. Gema lantunan Al Quran terdengar saling sahut menyahut dari pengeras suara. Siang harinya, tak terdengar tabuhan gendang apalagi dangdutan. Sore harinya diramaikan oleh reunian teman teman lama yang menunggu berbuka. Malam malamnya dihiasi dengan tarawih bersama. Sepuluh malam terakhirnya dihiasi tangis, doa, dan harap para pejuang pencari lailatul qadr.
Terbang sejenak dalam ingatan bulan Ramadhan, tak sengaja saya teringat kembali akan petuah salah seorang ustad di sekolah saya tentang sebuah kisah.
Pada zaman jahiliyah di Kota Makkah, tersebutlah seorang perempuan yang biasa dipanggil Raithah, Ia memiliki semacam perusahaan konveksi (kalau jaman sekarang), yg memperkerjakan beberapa karyawan (baca : budak) sebagai pekerjanya. Di pagi buta mereka mulai pekerjaan tangan mereka untuk menenun benang menjadi kain siap pakai.
Kekonyolan terjadi di sore hari, ketika sang majikan memerintahkan para pekerja untuk kembali mengurai helai demi helai benang yang telah mereka tenun menjadi kain, untuk kemudian benang benang itu ditenun lagi esok hari.
Konyol sekaligus mengerikan, kerja keras yang tak menghasilkan apa apa kecuali kesia-siaan belaka. Maka Allah SWT abadikan kisah ini dalam Al Quran sebagai pelajaran bagi kita.
QS An Nahl : 92
Lantas apa hubungannya dengan bulan Ramadhan ?
Coba perhatikan 2 pekan setelah berakhirnya bulan itu. Takmir di masjid masjid mulai menggulung karpet panjangnya yang biasa orang perebutkan untuk melaksanakan sholat berjamaah. Mushaf mushaf Quran mulai kembali diletakkan di rak rak buku berdebu. Malam kembali dipenuhi dengan lantunan musik yang tidak jelas. Anak anak muda kembali disibukkan dengan handphone miringnya.
Inilah sebenarnya yang kita takutkan bersama. Kesalahan Raithah 1400 tahun yang lalu terulang lagi di tahun ini. Bersusah payah ia susun helai demi helai benang. Bertetes peluh ia tata rapi benang benang itu, saling menumpuk, saling menyilang, agar menjadi kain yang berkualitas tinggi. Namun kemudian ia urai kembali kain yang kuat itu menjadi untaian benang.
Maka jangan sampai kita menjadi sepertihalnya Raithah dan karyawannya. Bersusah payah kita susun setiap amal kebaikan, menahan segala kebiasaan buruk, menjauhi setiap ajakan nafsu menuju kemaksiatan, mencoba memperbaiki kualitas keimanan dan ketaqwaan dalam kurun waktu. Tapi kemudian, yang dibangun selama waktu satu bulan kembali kita hancurkan di hari hari setelah Ramadhan berlalu.
Maka yang perlu kita ketahui bersama ialah, Ramadhan bukanlah bulan untuk menunda kebiasaan buruk, yang setelah itu dilakukan kembali dibulan bulan selanjutnya. Ramadhan bukanlah bulan dilarangnya maksiat, yang kemudian maksiat diperbolehkan lagi dilakukan di 11 bulan berikutnya. Ramadhan bukanlah tentang keimanan dan ketaqwaan yang bersifat temporer.
Tapi lebih jauh dari itu, Ramadhan ialah bulan untuk menghentikan kebiasaan buruk, bukan hanya menundanya. Ramadhan ialah bulan kita mendidik diri untuk meningkatkan produktivitas amal di 11 bulan berikutnya. Ramadhan ialah tentang komitmen seumur hidup bukan hanya temporer 30 hari.
Indikator keberhasilan Ramadhan tidak hanya ketika kita memaksimalkan setiap amal di bulan itu, Justru bagaimana pengaruh Ramadhan terhadap kehidupan di bulan berikutnya merupakan indikator terpenting berhasilnya seseorang di Bulan Ramadhan.
Maka mari kita bertanya kepada diri kita masing masing, sudah seberapa berpengaruh kah Ramadhan terhadap kehidupan keseharian kita ?