Post

Hadiah pak Ustad (2018)

Adzan magrib berkumandang syahdu. Ratusan santri mulai bergegas berangkat ke masjid pondok. Tanpa babibu saya keluar kamar lalu mengambil wudhu. Belum sempat saya masuk masjid memenuhi panggilan Tuhan, seseorang memanggil saya duluan

“Mas Rio..”

Ternyata Ustad Muhtadi

“Oh nggih ustad, pripun ??” jawab saya

“Ba’da sholat nanti ajak kawan2 rohis ke rumah saya ya, ada ‘hadiah menarik’ ” pinta beliau

“Nggihh” jawab saya mantap.Jelas. Disamping “panggilan” ustad harus dipenuhi, siapa santri yang tak mau “hadiah menarik” dikala tanggal tua datang mencekik. begitupun saya.

Habis sholat, saya, Husen, Nafi dan beberapa adik kelas buru buru ke rumah beliau.

“ Kau bilang tadi ada ‘hadiah menarik’ ?? wadududu, kayak undian aja kau ni, gesek gesek berhadiah piring cantik “ Husen menerka dengan logat khas kaltimnya

“ Heleh rausah dipikir jeru, ” potong saya dengan bahasa jawa

Nafi cuma senyam senyum

Sampai di rumah beliau, kami langsung disambut.

“Ayo beberapa ikut saya ambil hadiahnya” ujar beliau

“ Wah hadiah mesti akeh iki, ngasi butuh wong akeh nggo jupuk” bisik nafi

Tak lama berselang, hadiah kami datang, dan tebak apa hadiahnya.

Yap, belasan ikat kangkung

Tak kaget dan tak butuh waktu lama bagi kami merubahnya jadi olahan siap santap. Tanpa komando, kami kompak duduk melingkar sembari mulai menghabiskan masakan kami yang naudzubillah banyaknya itu.

“Gimana ?? Menarik kan hadiahnya” tanya Ustad Muhtadi

Kami mantuk, lalu siap pasang telinga karena tau kalau itu kalimat pembuka dari taujih yang akan beliau sampaikan setelahnya.

“Kebahagian itu terkadang datang dari hal hal yang sederhana, seperti kangkung ini.” ujar beliau “Dan sebenarnya yang membuat masakan kita terasa sedap tak hanya karena rasa tapi juga soal kenangan. Kangkung bagi saya spesial, tak hanya mengandung zat zat bergizi tapi juga mengandung kenangan tak terlupakan, memori saya ketika dulu menjadi santri seperti kalian”

Kami membenarkan. Tapi dalam hati saya berpikir, kangkung memang spesial, tapi bagi beliau yang punya kenangan tentangnya, bagi kami kangkung tak ubahnya seperti sayuran lain, meskipun rasa kangkung ini memang sedap.

“Ayo tanduk, wajib dihabiskan lho”

Nafi dan Husen memang nomor satu kalau urusan tanduk menanduk. Porsi santri kadang memang tak jauh beda dengan porsi kuli. Meski begitu, saya menolak tanduk dan lebih memilih bercakap dengan beliau,

“Ustad beberapa minggu terakhir ini saya mulai belajar untuk menulis, tapi sampai kok sekarang saya tulisan saya seperti ngga ada perkembangan, kalau kiat kiat dari njenengan biar handal dalam menulis gimana nggih ustad ?”

Karir kepenulisan ustad Muhtadi memang tak diragukan lagi, disamping beliau menjadi kolumnis di sebuah koran lokal, beliau juga telah menulis beberapa buku.

“Ingat 5 pesan saya …” kata beliau

Saya mulai fokus mendengar dan mencoba mencatat dalam pikiran kelima wejangan sakti tersebut

“ Tuuulis, Tuliiiis, Tulisssss, Tulllllis” ujar beliau dengan 5 nada berbeda seolah 5 kata itu beda

“Artinya …” lanjut beliau “ menulis adalah soal jam terbang, kunci untuk menjadi seorang penulis yang ‘handal’ adalah kontinyu dalam menulis “ ujar beliau

“Woo ngoten, nggih nggih paham” jawab saya

Sebakda ngobrol ngobrol ringan, dan beres beres. Kamipun berpamitan pulang tak lupa berterimakasih atas tambahan ilmu dan tambahan berat badan.

Kini, dua tahun setelah momen itu, saya sadar. ‘Hadiah Menarik’ yang Ustad Muhtadi janjikan sejatinya bukanlah olahan kangkung mantap itu, justru hadiahnya ialah momen itu sendiri. Kangkung menjadi spesial bagi saya karena momen itu. Kini, kenangannya membuat jemari saya tergerak untuk mulai belajar menulis (lagi).

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.

Trending Tags