Post

Panderman (2020)

Sabtu lalu saya diajak kawan SMA saya menghabiskan akhir pekan bersama. Tentunya kami memilih kegiatan yang ramah di kantong mahasiswa, mendaki gunung. Panderman pun jadi opsi utama destinasi kami kali ini, dengan ketinggian 2000 meter diatas permukaan laut, kami rasa gunung ini pas untuk didaki dengan nyantai. Pukul 1 dini hari kami mulai pendakian dari basecamp Panderman.

Selama perjalanan kami tak terburu buru, sering berhenti, istirahat sambil bercakap cakap ringan. Maklum, sudah lama kami tidak nyangkruk dan saling berbagi cerita. Sesampainya di puncak saya termenung melihat sikap beberapa kawan saya. Mereka bisa dibilang sudah makan asam garam dunia pergunungan, pengalaman mereka mendaki tak perlu diragukan lagi. Biasanya motivasi orang orang mendaki gunung ialah mendapat view indah ketika di puncak. Namun kali ini saya merasa mereka tak terlalu ngebet ngebet amat segera sampai di puncak. Mereka cenderung lebih menikmati perjalanan, suasana alam pegunungan, serta momen kebersamaan kami. Di puncak pun tak terlalu banyak berswafoto, lebih memilih ngobrol sembari nyruput teh panas.

cemas

Barangkali bagi mereka mendaki gunung tak hanya soal sampai ke puncak. Mereka mencoba menikmati setiap jengkal suasana pegunungan. Menikmati kepleset kepleset di tanah licinnya, kesusahan ngangkat barang bawaan di track terjalnya, tertusuk duri duri tanamannya, hingga menikmati “gangguan” kera dan hewan lainnnya. Bagi mereka sampai puncak memang sebuah kenikmatan, tapi perjalanan menuju ke puncak harusnya juga dinikmati. Hal ini baru bagi saya.

Ketika SMA saya pernah mendaki gunung dengan tergesa gesa, ingin segera sampai puncak karena beradu cepat dengan kawan saya. Tujuannya hanya satu, puncak. Sesampainya di puncak pun saya buru buru lekas turun lagi. Alhasil, sehabis turun gunung saya hanya dapat capeknya saja, tidak kemput menikmati suasana gunung secara keseluruhan.

Barangkali hidup juga bisa disikapi seperti itu. Tak hanya menikmati hasil dari usaha keras kita saja, sebetulnya kita juga bisa menikmati prosesnya. Alangkah meruginya bila dalam naik turunnya hidup, kita hanya bersyukur di “puncak puncaknya” saja. Padahal bagaimanapun dinamika hidup manusia di dunia, selalu saja ada nikmat Tuhan yang selayaknya disyukuri.

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.

Trending Tags