Post

Suujon (2019)

Senin lalu saya mengadiri kegiatan sosialisasi kampus dari ikatan alumni SMA saya. Dikarenakan musim liburan, tiket kereta yang biasa saya beli untuk perjalanan pulang-pergi Jogja-Blitar pun ludes. Tiket baru tersedia Jum’at, akhirnya saya terpaksa pulang menggunakan bus bersama salah satu kawan saya Mas Irfan. Perjalanan berjam berjam Magelang — Blitar membuat saya teringat pada pengalaman menarik pada waktu saya SMP. Waktu itu, seperti biasa, saya sedang dalam perjalanan pulang dari SMP menuju rumah yang kira kira berjarak 45 menit perjalanan. Karena jarak yang cukup jauh itulah, akhirnya saya memilih untuk menginap di asrama sekolah yang kala itu dihuni oleh 6 teman saya. Saya biasa pulang di akhir pekan, menggunakan angkutan umum karena terbilang murah apalagi untuk orang yang kemana mana pakai seragam sekolah seperti saya. Tak peduli jauhnya jarak ,yang penting berseragam sudah cukup menjadi alasan bagi saya untuk mendapat tarip pelajar yang subhanallah murahnya, 2000 rupiah. Sayangnya tidak ada bus atau angkutan umum lain yang bisa membawa saya langsung dari sekolah menuju rumah, saya harus berpindah pindah dari satu bis ke bis lain kurang lebih tiga kali barulah saya bisa turun langsung didepan rumah.

suspect

Jam 1 siang tepat sepulang sekolah, dengan masih memakai seragam sekolah dan tas berisi beberapa pakaian serta laptop, saya pun mulai menunggu bis di jalan raya dekat sekolah. Dari sana saya menuju terminal Blitar untuk mencari bis lain dengan tujuan Kediri.

Di dalam bis, perasaan tidak biasa terjadi. Jalan yang biasa saya lalui ketika perjalanan pulang terasa asing. Merasa heran, akhirnya saya perhatikan tiket bus yang saya dapat. Entah karena ngantuk atau apa, saya salah bus ! Bus yang saya naiki saat ini ternyata bus jurusan Tulungagung. Sialnya saya baru menyadari hal ini ketika bus melaju kencang memasuki daerah Tulungagung, cukup jauh dari Terminal Blitar. Saat itu, Go-Jek dan sejenisnya belum setenar sekarang, akhirnya setelah saya turun dari bus, saya berjalan ke seberang jalan untuk menunggu bus yang menuju ke arah Terminal Blitar. 15 menit saya menunggu, tak ada bus yang lewat. Bosan menunggu tiba tiba sebuah motor berhenti di depan saya.

“ Ayo le kene tak barengi, sampean arepe nyang terminal to ? “

Seorang bapak bapak bertato dengan baju lusuh dan celana jeans menghampiri saya

“ Nggih pak “ jawab saya

“ Kene, bareng aku, aku yo arepe mrono. Nunggu bis ning kene suwe le Paling cepet setengah jam “

Jujur, saya ragu untuk meng-iyakan tawarannya. Bagaimana tidak, bapak itu orang yang asing bagi saya, ditambah dengan penampilan yang kurang meyakinkan membuat saya berprasangka buruk tentangnya.

“ Oh nggih pak matur suwun “ jawab saya sedikit terpaksa

5 menit setelahnya, penilaian saya salah. Ternyata bapak ini sangat ramah kepada saya. Saya pun diantarnya hingga depan terminal.

“ Matur suwun sanget pak “ ucap saya tulus kepada bapak yang tadi saya anggap akan melakukan sesuatu yang tidak tidak pada saya. Saya salah menilai sang bapak, saya hanya menilai dari tampilan saja lalu membuat prasangka prasangka buruk.

Beruntungnya saya, bus jurusan kediri seperti sudah menunggu saya di dalam terminal. Saya pun masuk kedalam bus sepi itu, hanya ada beberapa ibu ibu dan seorang kakek tua yang duduk sendirian.

Tak lama berselang bus itu mulai meluncur meninggalkan terminal. Saya duduk di tengah, dekat jendela bus. Selama perjalanan saya hanya memandangi jalanan sembari merenungkan kejadian tadi siang. Selama perjalanan itu pula saya perhatikan seorang kakek tua yang tampak gelisah. Beberapa kali Ia berpindah tempat duduk, awalnya di depan lalu ke samping saya dan terakhir di paling belakang dekat pintu bus. “Oh kasihannya kakek ini, di umurnya yang sudah senja ini masih saja ia punya masalah yang membuatnya sebegitu cemasnya” pikir saya

“ Pasar Srengat ! “ teriak kernet bus, sontak saya berdiri karena saya memang turun di Pasar Srengat. “ Pasar Srengat rene o le ! “ kata kakek tua itu. Saya pun manut, dan berjalan menuju pintu belakang bus. “Mudun ning ngisor kene ben langsung” tambah kakek tua seraya memposisikan saya berdiri didepan dan sedikit dibawahnya. Saya heran kenapa terburu buru, padahal Pasar Srengat juga masih cukup jauh.

Menunggu turun di dekat pintu bus membuat saya terkena semilir angin yang menyejukkan, hingga punggung saya terasa ada yang bergerak gerak di dalam tas saya. Reflek saya pun melempar siku saya kebelakang, kearah tas mengenai tangan si kakek tua. Tak sempat menoleh tiba tiba saya didorong kakek tua itu. “Wis mudun kene wae” ucap kakek tua terburu buru. Saya pun sedikit terlempar dari pintu bus yang saat itu berjalan lambat karena jalanan sedang ramai. Kaget dan bingung, saya coba memeriksa tas. Melihat tas saya yang terbuka lebar dalam hati saya mengumpat “ Bajigurr ! kecopetan !”. Setelah saya cek lagi, tak ada barang yang hilang. Untungnya yang dibuka kakek tua tadi hanyalah bagian tas yang hanya berisi pakaian. Syukurlah tidak bagian laptop dan barang barang penting yang Ia buka.

Sejak saat itu, saya semakin paham maksud ungkapan “don’t judge a book by its cover”.

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.

Trending Tags